Monday 16 January 2017


Perjalanan dari Karanganyar menuju Kecamatan Jenawi memakan waktu hampir dua jam dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Tapi lelah karena perjalanan naik sepeda motor itu terbayar saat Solopos.com sampai di Jembatan Selfie, Dukuh Tempel, Desa Anggrasmanis, Jenawi, Minggu (15/1/2017).
Warga sekitar mengenal Jembatan Selfie dengan Thuk Mangklung Indah (TMI). Perjalanan menuju lokasi itu cukup menantang. Kontur jalan menanjak terjal di antara area persawahan dan ladang penduduk.
Beberapa ratus meter adalah jalan setapak yang sudah dilapisi beton lalu disambung jalan setapak dari tanah yang dipadatkan. Kemahiran berkendara di jalan menanjak dengan kemiringan sekitar 30 derajat itu benar-benar teruji.
Pantauan Solopos.com, sejumlah pengendara sepeda motor mengalami kesulitan pada tanjakan pertama. Tetapi jangan khawatir, warga sekitar sudah berjaga di sekitar tanjakan. Mereka siap membantu pengendara yang kesulitan di tanjakan. Mereka memasang ganjal ban maupun membantu mendorong hingga pengendara bisa menguasai laju kendaraan.
Pengunjung cukup merogoh saku Rp6.000 per orang untuk menikmati fasilitas di objek wisata Jembatan Selfie. Uang itu sudah termasuk biaya parkir. Perjalanan melelahkan terbayar saat sampai di rumah pohon. Rumah pohon tanpa atap itu memanfaatkan batang dan dahan pohon alpukat, nangka, dan lain-lain.
Ketinggian rumah pohon sekitar 3-4 meter dari tanah. Sedangkan Jembatan Selfie terbuat dari bambu. Jembatan selfie memiliki ketinggian 4,5 meter dari jalan setapak. Pemandangan yang disuguhkan adalah sebagian wilayah Karanganyar dan Ngawi di Jawa Timur.
Objek wisata Jembatan Selfie masih memiliki pesona lain, yaitu sensasi duduk di rumah pohon saat angin berembus kencang. Adrenalin terpompa karena rumah pohon bergoyang-goyang. Pengunjung Jembatan Selfie, Veri, Vita, dan enam orang lainnya yang datang dari Sragen, mengaku takjub dengan keindahan tempat itu.
Itu adalah kali pertama mereka berkunjung ke objek wisata tersebut. Veri dan Vita mengaku mengetahui objek wisata itu dari media sosial. Mereka merasa tidak rugi meskipun harus menempuh perjalanan jauh dan jalur terjal.
“Puas. Fotonya bisa di-upload di media sosial. Bagus. Nanti mau ke sini lagi. Tetapi ya itu, jalannya menanjak. Agak susah. Kalau bisa diperbaiki, mungkin lebih nyaman. Angin kencang tapi seru bikin deg-degan pas di rumah pohon,” tutur Vita saat ditemui Solopos.com.
Pengelola sekaligus Bayan Tempel, Warsito, menuturkan konstruksi rumah pohon dan Jembatan Selfie itu aman. Warga membangun konstruksi menggunakan mur dan baut. Warga memiliki ide membuat objek wisata memanfaatkan panorama itu pada September 2016 lalu.
Proses pembangunan memakan waktu satu bulan. Warsito mengaku ide kali pertama muncul dari mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) UNS. “Saya ditunjukkan cara mengoptimalkan potensi pemandangan alam di sini. Kami realisasikan dan ternyata diminati. Enggak menyangka sambutan dari masyarakat seperti ini. Semua ini berkat dukungan warga dan pemerintah desa,” kata Warsito saat ditemui wartawan, Minggu.
Dia menyampaikan rencana pengembangan objek wisata. Prioritas warga dukuh adalah menambah fasilitas di sekitar objek wisata, seperti gazebo untuk berteduh, kolam renang, taman, akses jalan menuju lokasi objek wisata, dan lain-lain.
“Semua dikerjakan swadaya. Termasuk lahan yang digunakan ini. Tujuan kami mengenalkan pesona Jenawi dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitar,” ujar dia.
Jembatan Selfie ramai dikunjungi pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Rata-rata pengunjung akan memadati objek wisata itu pada siang menjelang sore hari. Mereka bermaksud mengabadikan matahari terbenam. Objek wisata buka mulai pukul 07.00 WIB-18.30 WIB.

Desa Gerdu di Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar menyimpan potensi wisata alam berupa air terjun. Lokasi air terjun itu berada di Dukuh Jurangjero, RT 002/RW 006, Desa Gerdu, Karangpandan.
Solopos.com dan sejumlah awak media beberapa waktu lalu menelusuri lokasi air terjun. Kami berkendara dari Karanganyar Kota ke arah kantor Kecamatan Karangpandan. Kemudian kendaraan mengarah ke selatan menuju objek wisata Tujuh Mata Air Sapta Tirta Pablengan.
Tidak jauh dari objek wisata itu, ada gang ke timur atau kiri kalau melaku dari arah objek wisata Tujuh Mata Air Sapta Tirta Pablengan. Gang itu termasuk Dukuh Pablengan, Desa Pablengan, Matesih.
Kami menyusuri jalan kampung sejauh sekitar satu kilometer hingga perempatan Dusun Kramen, Desa Pablengan, Matesih. Kendaraan berbelok ke utara sekitar 500 meter. Kami sampai batas Desa Pablengan, Matesih dengan Desa Gerdu, Karangpandan.
Pemandangan permukiman berganti dengan area persawahan. Kami melewati tanjakan yang diapit area persawahan. Banner petunjuk Air Terjun Jurangjero menyambut saat mendaki tanjakan. Ada papan petunjuk lain dari bahan seng yang bertulis air terjun dan gas alam. Papan petunjuk mengarah ke jalan setapak menuju halaman rumah warga.
Pengunjung yang membawa mobil harus memarkir kendaraan di tepi jalan. Tetapi, pengunjung harus bersiap-siap menggeser mobil apabila ada mobil lain yang melintasi jalan itu. Pengunjung disarankan menggunakan sepeda motor apabila ingin mengunjungi Air Terjun Jurangjero. Warga yang tinggal di dekat jalan menuju air terjun menyediakan tempat parkir di halaman rumahnya.
Kami berjalan menuju halaman rumah warga atau sesuai arah papan petunjuk. Kami meneruskan perjalan hingga ke belakang rumah. Kami mulai mendengar sayup-sayup suara gemericik air. Selanjutnya, ada jalan setapak yang dibuat menuju air terjun. Jalan dibentuk berundak-undak. Jalan setapak itu sebagian dari tanah dan bagian lain sudah berlapis semen.
Air terjun setinggi 38 meter itu tersembunyi di antara pepohonan dan semak. Salah satu warga Dukuh Jurangjero, RT 002/RW 006, Desa Gerdu, Suharno, 49, menuturkan warga sekitar air terjun dan karang taruna mencoba mengelola air terjun itu sejak tahun lalu.
Mereka membersihkan lokasi sekitar air terjun, membuat jalan berundak menuju air terjun, dan menyiapkan lahan parkir di halaman rumah penduduk. Tetapi, mereka belum menarik uang parkir dan retribusi karena belum banyak pengunjung.
“Lebaran itu ramai. Warga dari dalam dan luar Karanganyar yang datang. Warna air jernih kalau tidak hujan. Tetapi kalau hujan ya keruh. Kami hanya mencoba mengelola potensi alam,” tutur dia saat ditemui wartawan Senin (12/12/2016).
Suharno mengaku sudah memberi tahu Bupati dan dinas terkait tentang air terjun itu. Tetapi, sepertinya belum ada respons. Kami mengalami kesulitan hendak menemukan lokasi air terjun karena petunjuk jalan menuju objek wisata itu terbatas. Satu-satunya petunjuk lokasi air terjun hanya banner dan papan petunjuk di dekat lokasi air terjun.
“Kami berharap ada dinas yang mau berkunjung dan mengecek. Apakah air terjun ini layak menjadi objek wisata,” tutur dia.
Warga Sabrangkulon, Matesih, Karanganyar, Tessa Sukasmiati, datang bersama putrinya, Lidiya Melisa. Dia kali pertama mendatangi air terjun Jurangjero. Tessa mendengar informasi tentang air terjun itu dari media sosial. Bahkan, sejumlah orang sudah memasang swafoto dengan latar belakang air terjun.
“Penasaran pingin lihat seperti apa. Lokasinya enggak jauh dari rumah. Lumayan. Pemandangannya bagus. Masih asli dan belum ramai. Tetapi, ya akses jalan menuju lokasi ini harus diperhatikan. Belum banyak petunjuk, bisa tersesat kalau bukan orang Karanganyar,” ungkap Tessa.

Contact Admin

Recent Post

    Area Soloraya

    VISIT SOLORAYA

    Seni Budaya Jawa

    Popular Posts

    Kalender

    Translate To



    EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianBrazilJapaneseKoreanArabicChinese Simplified



    Labels

    Boyolali (14) Karanganyar (25) Klaten (11) Sragen (17) Sukoharjo (11) Surakarta (13) Wonogiri (14)