Setelah puluhan tahun lewat, beberapa bulan lalu saya berkesempatan
napak tilas ke Jatinom, sebuah kota kecamatan (dulu kawedanan) di
wilayah Klaten, Jawa Tengah, tempat Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada. Kami sekeluarga pernah tinggal di kota kecil ini, sejak sebelum saya duduk di bangku TK sampai tahun 1967, saat masih di kelas 2 sekolah dasar.
Tempat pertama yang saya tuju adalah kantor Kawedanan Jatinom yang
sekaligus sebagai rumah dimana dulu kami tinggal. Jatinom saat itu masih
berstatus kawedanan, satu tingkat di atas kecamatan, di bawah
kepatihan. Jatinom sudah jauh berubah. Oro-oro Jatinom, atau alun-alun,
tempat pasar malam dahulu biasa diselenggarakan setiap tahunnya,
terlihat mengecil.
Beberapa kali bertanya ke penduduk berusia lanjut membawa kami ke
Kantor Kawedanan Jatinom “lama” namun “baru”. Hanya instink yang membuat
saya akhirnya bisa menemukannya. Rumah itu masih seperti yang terpateri
dalam ingatan, hanya terlihat tua, dan kosong. Pohon Jambu Dersono di
halaman yang dulu buah putih kehijauannya sangat manis sudah tidak ada
lagi.
Namun lorong di depan rumah yang tiap hari saya lewati saat berangkat
ke sekolah sama sekali tidak berubah. Tetangga sebelah kanan, seorang
mantri yang baik hati, telah lama pindah. Namun tetangga depan rumah,
seorang ibu, masih yang dulu. Ada perasaan senang ketika bertemu dan
berbincang dengannya, sedikit mengenang masa lalu, meski ingatan itu
sangat samar.
Matahari sudah turun mendekati cakrawala ketika kami akhirnya
meninggalkan rumah si ibu menuju ke Makam Ki Ageng Gribig Jatinom
Klaten, yang arahnya lurus saja arah ke kanan, sampai mentok di ujung
jalan. Jalan ini dulu sering saya lalui untuk membeli karak, sejenis
krupuk dari beras, yang ditusuk bersusun vertikal dengan potongan bambu
sebesar lidi.
Sesampainya di lokasi, kami masuk ke ruangan cukup besar dimana pintu masuk ke kompleks Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada. Pintunya dikunci, namun tidak lama kemudian datang seorang pria yang membantu memanggilkan kuncen. Pada dinding pendopo ruang tunggu makam terdapat denah tempat menarik di Jatinom, sebagian berada di tepi Kali mBelan.
Dulu cukup sering kami bermain di Kali Belan dengan Pohon Beringin
tua di dekat undakan batu, dan memasuki gua mBelan. Bau ikan masih
tersimpan di ingatan. Di seberang kali ada tebing yang di tengahnya ada
sungai kecil jernih, tempat saya biasa pergi menemani mas Endro, supir
kawedanan, untuk mandi dan mencuci baju. Kadang ia membawa gitarnya.
Lamunan masa kecil hilang lenyap ketika juru kunci Makam Ki Ageng
Gribig Jatinom Klaten datang mendekat. Namanya Pak Jedeng (0856 284
7873, 0813 9387 9006), yang setelah bersalaman dan berbincang sebentar
ia lalu membukakan pintu makam, dan mengantar kami memasuki area makam
yang ternyata cukup luas, dengan melepas alas kaki sebelum melewati
pintu.
Pandangan pada gapura lengkung tiga dengan lambang kerajaan di puncaknya, serta tulisan-tulisan yang menggunakan huruf Jawa yang saya tak lagi bisa membacanya. Harus belajar lagi. Sebuah makam dengan nisan unik dengan torehan angka 1821 di permukaannya kami lewati saat berjalan menuju ke cungkup utama dimana Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada.
Lambang kerajaan itu ada di sana karena Ki Ageng konon adalah
keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Ini berbeda dengan apa
yang sampai sejauh itu tersimpan di dalam ingatan. Sebelumnya saya kira
bahwa nama Ki Ageng Gribig merupakan nama sebutan dari Syekh Maulana
Maghribi, seorang wali kondang asal Maroko di barat laut Afrika.
Sebuah versi menyebut bahwa Ki Ageng adalah Syekh Wasibagno yang
ketika muda bernama Raden Joko Dolog, anak Brawijaya. Ibundanya adalah
Raden Ayu Ledah, puteri Sunan Giri. Versi lain menyebut Ki Ageng Gribig
Jatinom adalah Syekh Wasibagno Timur (muda), putera Ki Ageng Gribig
Ngibig yang anak Brawijaya. Ki Ageng Gribig Ngibig nama mudanya Raden
Joko Dolok, dikenal pula sebagai Syekh Blacak Ngilo, Syekh Fakir Miskin
dan Syekh Ageng Ngibig.
Cungkup utama Makam Ki Ageng Gribig yang terlihat bersih dan terawat. Beberapa makam tua berada di luar cungkup, tak terlihat pada foto. Menggantung di atas pintu ada beberapa baris tulisan. Tulisan yang di kanan berbunyi: Hambabar ubaling karso, hadedasar poncasila, hangudi luhuring bongso, hangayati kanti waspodo, handayani sentoso karto-raharjo
Konon beliau pernah berhasil membantu Sultan Agung untuk mencegah
pembangkangan dan pemberontakan Kerajaan Palembang, tanpa perlu
berperang menumpahkan darah pajurit dan rakyat. Ki Ageng juga berhasil
menaklukkan Pangeran Mandurareja yang ketika itu berniat memberontak
melawan kekuasaan Sultan Agung, kakaknya sendiri.
Atas jasanya itu beliau diperkenankan mendirikan pedesaan di tempat
ia bertapa saat bertemu Sultan Agung, yaitu di bawah sepasang pohon jati
tua dan muda di Hutan Merbabu, di kaki Gunung Merapi. Desa itu kemudian
dinamai Jati Anom, atau Jatinom. Pohon itu ditebang oleh Ki Ageng
Gribig untuk membuat masjid (Masjid Kecil), kentongan dan rumahnya.
Terdapat dua buah makam di dalam cungkup makam ini. Di sebelah kiri adalah Makam Nyi Ageng Gribig, dan di sebelah kanan adalah Makam Ki Ageng Gribig. Biasanya saya meminta kuncen untuk membuka penutup nisan, ingin melihatnya. Namun entah mengapa waktu itu saya tidak berminat untuk melakukannya. Setiap tempat punya cara sendiri dalam merawat makam.
Yang tidak pernah lepas dari ingatan adalah sebar apem sehabis
Jumatan pada pertengahan Sapar, ritual Yaqawiyu. Konon sekembali dari
Mekah, Ki Ageng tiba di Jatinom pada pertengahan Sapar, membawa roti
gimbal dan segenggam tanah dari Arafah. Anak cucu dan tetangganya pun
berkumpul, kebetulan malam Jumat, untuk mendapat wejang dan berkah.
Namun lantaran jumlahnya tak cukup jika dibagi satu per satu, roti
gimbal yang telah dibuat jadi apem oleh Nyai Ageng Gribig itu lalu
disebarkan, diperebutkan, sehabis salat Jumat keesokan harinya.
Peristiwa itulah yang kemudian menjadi tradisi Yaqawiyu, diartikan Tuhan
Mohon Kekuatan. Sedangkan tanah Arafah ditanam di ‘pengimaman’ Oro-oro Jatinom.
Sungguh menyegarkan jiwa menapak tilas ke tempat yang menjadi bagian
ingatan masa kecil, meskipun sesaat. Lebih-lebih kami menemukan rumah
salah seorang supir kawedanan yang sudah sangat sepuh. Meski rumahnya
kosong karena ia di Jogja menghadiri wisuda anaknya, namun kakak sempat
berbicara lewat handphone dari teras rumahnya. Kejutan menyenangkan.
0 comments:
Post a Comment
Tata tertib berkomentar :
1. Komentar harus relevan dengan konten yang dibaca
2. Gunakan bahasa yang baik dan sopan
3. Tidak mengandung unsur SARA or Bullying.
4. Dilarang SPAM. Exp: Nice gan, Makasih Gan, dll
5. Dilarang menyisipkan link pada isi komentar. Aktif ataupun tidak.
Berlakulah dengan bijak dalam menggunakan sarana publik ini. Baca dan pahami isinya terlebih dahulu, barulah Berkomentar. Terimakasih.