Monday, 16 January 2017


Perjalanan dari Karanganyar menuju Kecamatan Jenawi memakan waktu hampir dua jam dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Tapi lelah karena perjalanan naik sepeda motor itu terbayar saat Solopos.com sampai di Jembatan Selfie, Dukuh Tempel, Desa Anggrasmanis, Jenawi, Minggu (15/1/2017).
Warga sekitar mengenal Jembatan Selfie dengan Thuk Mangklung Indah (TMI). Perjalanan menuju lokasi itu cukup menantang. Kontur jalan menanjak terjal di antara area persawahan dan ladang penduduk.
Beberapa ratus meter adalah jalan setapak yang sudah dilapisi beton lalu disambung jalan setapak dari tanah yang dipadatkan. Kemahiran berkendara di jalan menanjak dengan kemiringan sekitar 30 derajat itu benar-benar teruji.
Pantauan Solopos.com, sejumlah pengendara sepeda motor mengalami kesulitan pada tanjakan pertama. Tetapi jangan khawatir, warga sekitar sudah berjaga di sekitar tanjakan. Mereka siap membantu pengendara yang kesulitan di tanjakan. Mereka memasang ganjal ban maupun membantu mendorong hingga pengendara bisa menguasai laju kendaraan.
Pengunjung cukup merogoh saku Rp6.000 per orang untuk menikmati fasilitas di objek wisata Jembatan Selfie. Uang itu sudah termasuk biaya parkir. Perjalanan melelahkan terbayar saat sampai di rumah pohon. Rumah pohon tanpa atap itu memanfaatkan batang dan dahan pohon alpukat, nangka, dan lain-lain.
Ketinggian rumah pohon sekitar 3-4 meter dari tanah. Sedangkan Jembatan Selfie terbuat dari bambu. Jembatan selfie memiliki ketinggian 4,5 meter dari jalan setapak. Pemandangan yang disuguhkan adalah sebagian wilayah Karanganyar dan Ngawi di Jawa Timur.
Objek wisata Jembatan Selfie masih memiliki pesona lain, yaitu sensasi duduk di rumah pohon saat angin berembus kencang. Adrenalin terpompa karena rumah pohon bergoyang-goyang. Pengunjung Jembatan Selfie, Veri, Vita, dan enam orang lainnya yang datang dari Sragen, mengaku takjub dengan keindahan tempat itu.
Itu adalah kali pertama mereka berkunjung ke objek wisata tersebut. Veri dan Vita mengaku mengetahui objek wisata itu dari media sosial. Mereka merasa tidak rugi meskipun harus menempuh perjalanan jauh dan jalur terjal.
“Puas. Fotonya bisa di-upload di media sosial. Bagus. Nanti mau ke sini lagi. Tetapi ya itu, jalannya menanjak. Agak susah. Kalau bisa diperbaiki, mungkin lebih nyaman. Angin kencang tapi seru bikin deg-degan pas di rumah pohon,” tutur Vita saat ditemui Solopos.com.
Pengelola sekaligus Bayan Tempel, Warsito, menuturkan konstruksi rumah pohon dan Jembatan Selfie itu aman. Warga membangun konstruksi menggunakan mur dan baut. Warga memiliki ide membuat objek wisata memanfaatkan panorama itu pada September 2016 lalu.
Proses pembangunan memakan waktu satu bulan. Warsito mengaku ide kali pertama muncul dari mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) UNS. “Saya ditunjukkan cara mengoptimalkan potensi pemandangan alam di sini. Kami realisasikan dan ternyata diminati. Enggak menyangka sambutan dari masyarakat seperti ini. Semua ini berkat dukungan warga dan pemerintah desa,” kata Warsito saat ditemui wartawan, Minggu.
Dia menyampaikan rencana pengembangan objek wisata. Prioritas warga dukuh adalah menambah fasilitas di sekitar objek wisata, seperti gazebo untuk berteduh, kolam renang, taman, akses jalan menuju lokasi objek wisata, dan lain-lain.
“Semua dikerjakan swadaya. Termasuk lahan yang digunakan ini. Tujuan kami mengenalkan pesona Jenawi dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitar,” ujar dia.
Jembatan Selfie ramai dikunjungi pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Rata-rata pengunjung akan memadati objek wisata itu pada siang menjelang sore hari. Mereka bermaksud mengabadikan matahari terbenam. Objek wisata buka mulai pukul 07.00 WIB-18.30 WIB.

Desa Gerdu di Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar menyimpan potensi wisata alam berupa air terjun. Lokasi air terjun itu berada di Dukuh Jurangjero, RT 002/RW 006, Desa Gerdu, Karangpandan.
Solopos.com dan sejumlah awak media beberapa waktu lalu menelusuri lokasi air terjun. Kami berkendara dari Karanganyar Kota ke arah kantor Kecamatan Karangpandan. Kemudian kendaraan mengarah ke selatan menuju objek wisata Tujuh Mata Air Sapta Tirta Pablengan.
Tidak jauh dari objek wisata itu, ada gang ke timur atau kiri kalau melaku dari arah objek wisata Tujuh Mata Air Sapta Tirta Pablengan. Gang itu termasuk Dukuh Pablengan, Desa Pablengan, Matesih.
Kami menyusuri jalan kampung sejauh sekitar satu kilometer hingga perempatan Dusun Kramen, Desa Pablengan, Matesih. Kendaraan berbelok ke utara sekitar 500 meter. Kami sampai batas Desa Pablengan, Matesih dengan Desa Gerdu, Karangpandan.
Pemandangan permukiman berganti dengan area persawahan. Kami melewati tanjakan yang diapit area persawahan. Banner petunjuk Air Terjun Jurangjero menyambut saat mendaki tanjakan. Ada papan petunjuk lain dari bahan seng yang bertulis air terjun dan gas alam. Papan petunjuk mengarah ke jalan setapak menuju halaman rumah warga.
Pengunjung yang membawa mobil harus memarkir kendaraan di tepi jalan. Tetapi, pengunjung harus bersiap-siap menggeser mobil apabila ada mobil lain yang melintasi jalan itu. Pengunjung disarankan menggunakan sepeda motor apabila ingin mengunjungi Air Terjun Jurangjero. Warga yang tinggal di dekat jalan menuju air terjun menyediakan tempat parkir di halaman rumahnya.
Kami berjalan menuju halaman rumah warga atau sesuai arah papan petunjuk. Kami meneruskan perjalan hingga ke belakang rumah. Kami mulai mendengar sayup-sayup suara gemericik air. Selanjutnya, ada jalan setapak yang dibuat menuju air terjun. Jalan dibentuk berundak-undak. Jalan setapak itu sebagian dari tanah dan bagian lain sudah berlapis semen.
Air terjun setinggi 38 meter itu tersembunyi di antara pepohonan dan semak. Salah satu warga Dukuh Jurangjero, RT 002/RW 006, Desa Gerdu, Suharno, 49, menuturkan warga sekitar air terjun dan karang taruna mencoba mengelola air terjun itu sejak tahun lalu.
Mereka membersihkan lokasi sekitar air terjun, membuat jalan berundak menuju air terjun, dan menyiapkan lahan parkir di halaman rumah penduduk. Tetapi, mereka belum menarik uang parkir dan retribusi karena belum banyak pengunjung.
“Lebaran itu ramai. Warga dari dalam dan luar Karanganyar yang datang. Warna air jernih kalau tidak hujan. Tetapi kalau hujan ya keruh. Kami hanya mencoba mengelola potensi alam,” tutur dia saat ditemui wartawan Senin (12/12/2016).
Suharno mengaku sudah memberi tahu Bupati dan dinas terkait tentang air terjun itu. Tetapi, sepertinya belum ada respons. Kami mengalami kesulitan hendak menemukan lokasi air terjun karena petunjuk jalan menuju objek wisata itu terbatas. Satu-satunya petunjuk lokasi air terjun hanya banner dan papan petunjuk di dekat lokasi air terjun.
“Kami berharap ada dinas yang mau berkunjung dan mengecek. Apakah air terjun ini layak menjadi objek wisata,” tutur dia.
Warga Sabrangkulon, Matesih, Karanganyar, Tessa Sukasmiati, datang bersama putrinya, Lidiya Melisa. Dia kali pertama mendatangi air terjun Jurangjero. Tessa mendengar informasi tentang air terjun itu dari media sosial. Bahkan, sejumlah orang sudah memasang swafoto dengan latar belakang air terjun.
“Penasaran pingin lihat seperti apa. Lokasinya enggak jauh dari rumah. Lumayan. Pemandangannya bagus. Masih asli dan belum ramai. Tetapi, ya akses jalan menuju lokasi ini harus diperhatikan. Belum banyak petunjuk, bisa tersesat kalau bukan orang Karanganyar,” ungkap Tessa.

Sunday, 4 December 2016


Telaga Bandoet merupakan nama salah satu objek wisata di Bumi Sukowati. Telaga ini berlokasi di Dusun Jetis, RT 011, Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
Objek wisata ini terletak di perbukitan lereng Gunung Lawu. Telaga Bandoet berjarak sekitar 20 km dari Kota Sragen. Telaga ini tidak terlalu lebar, namun airnya cukup melimpah.
Pemerintah desa (Pemdes) Sukorejo mulai mengembangkan potensi Telaga Bandoet dengan membangun kolam renang pada awal 2014 silam. Cukup dengan merogoh kocek sedalam Rp2.000 untuk membayar tiket, pengunjung bisa menikmati kemurnian air telaga ini. Udara segar dipadu dengan pemandangan alam berupa pegunungan dan perbukitan yang indah menjadi bonus yang bisa dinikmati pengunjung.
Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, cerita tentang asal muasal Telaga Bandoet tidak bisa dilepaskan dari kisah Ki Joko Budug. Dia merupakan seorang putra Raja Majapahit bernama lengkap Raden Haryo Bangsal.
Cerita bermula ketika Ki Joko Budug pergi dari kerajaan untuk berpetualang. Dia tiba di sebuah pemukiman di Desa Bayem Taman di kawasan Sine Ngawi. Di desa itu, Ki Joko Budug singgah di rumah Mbok Rondo Dadapan. Tak jauh dari permukiman itu terdapat Kerajaan Pohan.
Saat itu musim kemarau datang. Pohon Pisang Pupus Cinde Mas kesayangan Raja Kerajaan Pohan layu. Raja kemudian membuat sayembara. Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon Pisang Pisang Cinde Mas, jika laki-laki akan dijadikan menantu, jika perempuan akan dijadikan anak angkat.
Mendengar sayembara itu, Ki Joko Budug meminta izin Mbok Rondo Dadapan untuk mengikutinya. Joko Budug berhasil membuat sebuah tongkat dari dahan pohon kelapa. Tongkat yang diberi nama Luh Gading itu biasa digunakan Budug untuk menggembalakan kambing.
Konon tongkat Luh Gading itu cukup sakti. Tongkat itu bisa digunakan untuk membelah batu. Bahkan, tongkat itu bisa digunakan untuk menumbuhkan mata air.
“Oleh Ki Joko Budug, tongkat itu ditancapkan ke permukaan tanah. Saat tongkat itu dicabut tiba-tiba keluar air yang cukup melimpah dari lubang tanah. Air itu cukup melimpah hingga akhirnya menjadi sebuah telaga yang kemudian dikenal dengan nama Bandoet,” jelas Kepala Desa Sukorejo Sukrisno, awal Juli 2016 lalu.


Aliran air itu lalu mengalir ke Sungai Sawur yang membelah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak hanya itu, Ki Joko Budug juga mampu membuat terowongan di dalam tanah dengan tangan kosong.
Terowongan itu menghubungkan Kali Sawur dengan taman yang ditanami pohon pisang kesayangan raja itu. Hingga kini, terowongan bawah tanah itu masih bisa dijumpai hingga sekarang. Konon, tongkat Ki Joko Budug itu dikuburkan tak jauh dari Telaga Bandoet.

Friday, 4 November 2016




Bagi anda yang senang bermain air atau berenang mungkin bisa mencoba tempat yang satu ini, dengan lokasi yang berada di tengah kampung di kawasan hutan karet sehingga memiliki suasana yang berbeda dari kebanyakan waterboom. Tempat ini bisa menjadi alternatif tujuan wisata keluarga khususnya di sekitaran wilayah karanganyar bagian timur laut yang berbatasan langsung dengan kabupaten sragen. Waterboom Tirta Guwo Indah namanya, beralamat di Kampung Guworejo, Desa Sumberejo, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Tirta Guwo Indah menempati lahan yang cukup luas kurang lebih hampir 2000 meter  persegi dengan posisi di lereng bukit sehingga bisa melihat sebagian lereng gunung lawu. Lokasi Tirta Guwo Indah sekitar 25 km dari pusat kota karanganyar, dengan rute Karanganyar kota ke timur, sampai simpang lima bejen ambil arah menuju Kecamatan Mojogedang, sampai menemukan Terminal Batu Jamus (pasar batu jamus).  Dari Terminal Batu Jamus ambil ke kanan menuju kota Kecamatan Kerjo kemudian belok kiri menuju Desa Sambirejo, diperlukan waktu sekitar 10 menit dari Terminal Batu Jamus  sampai ke lokasi Tirta Guwo Indah.
  
Tirta Guwo Indah merupakan milik pribadi seorang pengusaha setempat, dengan 3 buah kolam yang terdiri dari kolam untuk anak-anak, waterboom, dan kolam renang dewasa. Di sebelah kanan terdapat taman yang cukup unik, berada di tepi sebuah sungai dengan dilengkapi miniatur Grojogan Sewu buatan dengan akses jalan melalui tangga menuruni lereng tebing di sebelah kanan kolam renang dewasa. Sewaktu menuruni tangga menuju taman ini akan dijumpai sebuah gua buatan di sebelah kiri dan bisa digunakan sebagai tempat istirahat yang dilengkapi dengan sehelai tikar sehingga pengunjung bisa menikmati pemandangan yang cukup eksotis dari lereng tebing.
 Tirta Guwa Indah juga memiliki sanggar aerobic dengan nama Wien’s Aerobic yang bisa menjadi alternatif olahraga selain berenang. Untuk fasilitas lainnya seperti “perosotan” dengan ketinggian 10 meter dan juga ember tumpah. Beberapa toilet, tempat bilas dan kamar mandi dapat ditemukan tepat di bawah menara perosotan. Di bagian depan setelah pintu masuk terdapat bangunan utama 2 lantai yang merupakan kantor dan ruang aerobic serta sebuah kantin yang menjual aneka minuman dan makanan, serta persewaan pelampung. Di sebelah kolam renang anak-anak terdapat semacam panggung musik mini lengkap dengan alat musik dan sound system dengan nama “Sogol Music”. Fasilitas tempat parkir baik sepeda motor maupun mobil berada di depan dengan lahan yang cukup luas dan beberapa petugas parkir yang siap membantu.

Ayo jelajah karanganyar ….

Thursday, 3 November 2016

Taman Hutan Raya (Tahura) KGPAA Mangkunegoro I. Terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya di kompleks belakang Candi Sukuh, Desa Berjo, Ngargoyoso Karanganyar, fasilitas yang dikelola Balai Penelitian Tumbuhan dan Pengelolaan (BPTP) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah ini menawarkan pesona tersebut di lahan seluas 231,3 hektare. Pengunjung dapat memanfaatkan area alami yang terkemas kegiatan perkemahan, wisata jalan kaki, bermain di air terjun Parangijo dan meneliti ragam satwa dan hutan alam.
“Di area hutan yang dikelola ini hidup 42 jenis burung. Termasuk elang jawa. Kemudian 52 koleksi pohon. Jadi, anak-anak kita tidak perlu jauh mengenal alam dan ragam flora-fauna, cukup di Tahura saja,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Bowo Suryoko kepada KR saat meresmikan HUT ke-15 Tahura KGPAA Mangkunegoro I.
Untuk mencapai Tahura yang terkenal dengan pesona Candi Cetho-Sukuh dapat ditempuh perjalanan berjarak sekitar 36 kilometer dari Solo ke arah Tawangmangu. Pengelola menyediakan fasilitas di bumi perkemahan berdaya tampung 250 orang, berupa peralatan camping dan MCK. Menariknya, beberapa obyek wisata di tahura ini terhubung jalan setapak sepanjang 570 meter bermaterial gicok/batu blondos. Selain jalan gicok juga terdapat jalur tracking khusus bagi pengunjung yang menyukai tantangan lintas alam sepanjang 5 kilometer.
Tata kelola wahana konservasi alam ini melibatkan masyarakat selaku personel perawatan dan pemanfaatan. Tercatat, 300 warga di sekitar tahura memanfaatkan rumput di area tersebut sebagai pakan ternak. Sebagai timbal baliknya, mereka bertugas menjaga tahura dari pembalakan liar maupun kebakaran hutan.
Surga yang Tersembunyi
Berlibur menghabiskan waktu untuk melepaskan kepenatan setelah sepekan beraktifitas, tak harus berkunjung ke pusat berbelanja mewah atau pergi ketempat hiburan mewah lainnya yang bisa menguras isi dompet anda.
Namun hanya cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 5 ribu saja, anda bisa menghirup udara segar pegunungan sekaligus berwisata berkelilling di sekitar candi yang terletak di bawah kaki Gunung Lawu.

Ya, memang benar potensi wisata alam yang ada di bawah kaki Gunung Lawu, tepatnya di Kabupaten Karanganyar ini memang memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Tak hanya udara segar ciri khas daerah pegunungan masih bisa di rasakan, di bawah lereng gunung Lawu juga terdapat hutan yang asri dan rimbun serta hewan-hewan seperti kera masih bebas berkiaran bergantungan di rindangnya pepohonan.
Itulah Taman Hutan Raya (Tahura) peninggalan K.G.P.A.A.Mangkunagoro I. Letaknya tepat dibelakang candi eskotik yang sudah mendunia yakni Candi Sukuh. Berlokasi di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Luas lahan Taman Hutan Rakyat (Tahura) ini sendiri yaitu sekitar sekitar 231 hektare.
Di Tahura inilah, wisatawan bisa berinteraksi langsung dengan alam. Dari Tahura ini juga, bila cuaca cerah, wisatawan bisa dengan mata telanjang tanpa menggunakan teropong, sangat leluasa melihat Kota Solo serta kota lainnya dari atas Gunung.

Tuesday, 1 November 2016


Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk.
Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII.  Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura Pasek).

Piodalan di pura Pemacekan ini biasanya diselenggarakan setiap tujuh bulan saat bulan purnamasidi atau bertepatan dengan pengetan weton dari Ki Ageng Pasek yang mana Upacara Piodalan ini selain di rayakan oleh para pengempon Pura umat Hindu di karanganyar serta daerah Solo dan sekitarnya yang khususnya bermarga Pasek juga dihadiri oleh ratusan warga Hindu Bali dari marga Pasek juga.  Salah seorang Pengempon Pura Pasek ini adalah juga warga dari Desa Kemoning Klungkung yang berdomisili di Solo, yaitu bapak Nyoman Nasa, dalam menjalani masa-masa pension beliau, selalu mengabdikan hari-harinya merawat Pura Pasek ini.
Menghubungkan cerita Pura Pasek yang ada di tanah Jawi ini dengan issue-issue yang berkembang belakangan ini di daratan bali, dimana seiring dengan berjalannya waktu dan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat di Bali, akhirnya menumbuhkan keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh tentang asal-usul  nenek moyang atau leluhur keluarga mereka, yang di mulai tidak hanya ketika leluhur mereka berdomisili di balidwipa (pulau bali), melainkan di telusuri lebih jauh ketika nenek moyang mereka masih berdomisili di jawadwipa (pulau jawa) ketika kerajaan majapahit masih mengalami masa kejayaannya. penelitian oleh setiap individu mengenai silsilah keluarga / kelompok ini kemudian di tuliskan kedalam suatu babad, sehingga akhirnya di Bali saat ini dikenal berbagai macam Babad.
Lebih lanjut, menelusuri silsilah keluarga sedari nenek moyang baik dengan pergi ke tanah jawi atau melalui membaca babad yang di tulis orang lain, di bali saat ini sepertinya sedang menjadi trend. Salahkah kegiatan mereka ini, tentu tidak. kegiatan untuk mengetahui silsilah keluarga leluhur mereka, disamping akan menambah wawasan dari setiap pembacanya, membaca babad ini juga di khawatirkan sebagian orang akan memisahkan masyarakat bali menjadi kelompok-kelompok (soroh / clan) karena menemukan silsilah dirinya dalam babad.  kekhawatiran yang berlebihan ini mungkin masih dianggap wajar, hal ini untuk menghindarkan terulangnya fenomena masyarakat bali dari penafsiran yang berbeda-beda akan suatu konsep kehidupan bermasyarakat. sebagai contoh penafsiran akan keberadaan sistem wangsa di dalam kehidupan sosial kemasyarakat umat Hindu di Bali. dimana kalau menurut Manawa Dharmasastra, sistem wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial paradigma tinggi-rendah (tidak setara antara wangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra, melainkan sistem wangsa itu di buat untuk menentukan keakraban atau kerukunan famili, dan bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang. kita harapkan semoga masyarakat bali tidak terjerumus akan pemahaman yang sempit akan Babad ini. Kembali ke topik Babad, untuk apa sesungguhnya fungsi keberadaan Babad itu atau untuk apa Babad itu di tulis?  pada prinsipnya Babad itu adalah sejarah. Babad atau sejarah di tulis untuk melihat perjalanan sebuah peradaban. Dari penulisan ini kita menjadi tahu, siapa tokoh yang memainkan peran dalam peradaban itu.
Mengambil contoh dari salah satu Babad diatas yaitu Babad Pasek, umat Hindu dari seluruh pelosok daratan Bali yang bermarga Pasek, belakangan ini tidak hanya melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Dasar Gelgel Klungkung yang di yakininya sebagai induknya Pura Pasek di Bali , melainkan juga melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Patilesan (peristirahatan) Ki Ageng Pemacekan yang oleh masyarakat Bali di yakininya sebagai induknya Pura Pasek – pura Pasek yang ada di Bali,  dan belakangan ini selalu menunjukkan statistik yang kian terus meningkat bila di lihat dari jumlah kendaraan bis rombongan dari bali.
Akhir kata, seandainya ada pembaca artikel ini yang bermarga Pasek yang tertarik untuk melakukan wisata spiritual Tirta Yatra ke Pura Pasek yang ada di Jawa ini, berikut alamat detailnya: Pura Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Tuesday, 30 August 2016

Sekaten adalah festival rakyat tahunan yang diadakan pada tiap tanggal lima pada bulan Jawa Mulud  yakni bulan yang ketiga, sesuai dengan sistem kalender Jawa. Festival Sekaten Solo didedikasikan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Festival ini dimulai ketika dua gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari mulai dikumandangkan untuk gending ( komposisi musik Jawa) Rambu dan Rangkur. Berdasarkan sejarah, gending ini diciptakan oleh Wali Sanga di abad ke-15 untuk menarik orang-orang dalam penyebaran Islam. Untuk menarik perhatian orang, gamelan yang dibuat ulang dengan ukuran lebih besara agar suara berkumandang lebih keras agar menjangkau  orang-orang lebih jauh.

Sekaten berasal dari kata syahadatain atau syahadat. Syahadatain adalah dua kalimat yang diucapkan seseorang ketika akan memeluk agama Islam. Kalimat pertama adalah pengakuan kepada Allah yang dilambangkan dengan Gamelan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua  adalah pengakuan bahwa Muhammad SAW sebagai utusan Allah dilambangkan dengan Gamelan Kyai Guntur Sari. Pada masanya, Wali Sanga mendakwahkan Islam selama tujuh hari berturut-turut (Malam Sekaten) dengan latar gending gamelan.
Sekarang ini, selain untuk mempertahankan budaya Jawa, Sekaten juga bertujuan untuk memenuhi sektor ekonomi dan pariwisata di area Solo. Beberapa ritual atau yang biasa dikenal sebagai Grebeg Mauludan masih dilestarikan sebagai tradisi dan daya tarik untuk menarik perhatian para wisatawan.

Klenteng Tri Dharma Avalokitesvara Surakarta itu di bangun mulai sebagai bagian dari infrastruktur pada masa perpindahan Kraton Surakarta Hadiningrat dari Kartasura ke Ponorogo dan kemudian ke desa Sala pada tahun 1745. Bangunan ini sudah berusia lebih dari 200 tahun.
Tempat yang sakral ini sampai sekarang masih tegak berdiri di tengah keramaian daerah China di pusat Kota Solo. Tepat di seberang jalan sudah kelihatan pintu utama Pasar Gede Solo, pasar tradisional terbesar dan kemungkinan juga tertua dengan segala keramaiannya.
Sampai saat ini pula bangunan china ini masih menyisakan keindahan darimasa lalunya. Wakil pengurus kelenteng, mengatakan betapa mengagumkannya tempat persembahayangan disini. Selain untuk beribadah juga dapat dinikmati keindahan seni ukiran yang ada di dalam. Sederetan ukiran-ukiran indah ditiang-tiang penyangga atap kelenteng, ukiran-ukiran kayu memang indah. Paparan keindahan ini tampak begitu nyata jika dilihat dari dekat.


Di Altar utama yang merupakan Tuan/Nyonya rumah adalah altar Bodhisattva Avalokitesvara, Guan Shi Yin Pu Sa yang oleh penganut San Jiao atau Tri Dharma lebih dikenal sebagai Makco Guan Yin atau Kwan Im dalam dialek Hokkian. Makco Guan Yin yang duduk di altar utama ini adlaah Guan Yin yang dalam perwujudannya sebagai Shi Zi Wu Wei Guan Shi Yin. Perwujudan Avalokitesvara Simhananda adalah salah satu diantara 15 perwujudan utama, diluar 33 perwujudan dari sang Avalokiesvara. Biasanya avalokitesvara Simhananda digambarkan duduk diatas seekor singa atau di atas sebuah singgasana.

Apabila Sin Bing di Altar Utama berasal dari unsur Buddhisme nama dari Kelenteng itu dalam Bahasa Hokkian berakhir dengan Sie, seperti halnya Kelenteng Tien Kok Sie. Apabila Sin Bing di Altar Utama berasal dari unsur Taoisme  nama Kelenteng biasanya berakhir dengan Kiong  seperti Kelenteng Poo An Kiong di Coyudan Solo yang Altar Utama nya adalah Mahadewa Kong Tek Cun Ong  sang Mahadewa Pengusir Kejahatan dalam Daoisme/Taoisme yang berkedudukan sangat tinggi dalam strata kedewaan Daoisme/Taoisme. Sedang Kelenteng Dewa Bumi  Fu De Zheng Shen – yang lebih sering dikenal sebagai Kongco Hok Tek Cing Sin  namanya dalam dialek Hokkian  biasanya disebut sebagai Hok Tek Bio. Bio merupakan nama Kelenteng secara umum atau sebuah Kelenteng yang besar.
Di sinilah terlihat betapa sistim keagamaan Tiongkok adalah suatu sistim keagamaan yang sungguh pluralis dan sinkretis satu sistim yang menampung dan memberi tempat untuk semuanya. Tiga menyatu di dalam Satu. Tri Dharma. San Jiao. Ini sesungguhnya adalah suatu sistim keagamaan yang sangat bagus, asalkan dipahami secara tepat dan benar.

Nah, setelah memahami keindahan yang dimiliki bangunan bersejarah terhadap tempat persembahayangan keturunan china ini bukankah menambah rasa penasaran anda untuk datang kesana sendiri dan membuktikannya kan ? Cukup datang ke pasar gede surakarta, dia ada di sebelah selatannya.

Saturday, 27 August 2016

Sahabat travelers, kalau mendengar istilah lembah hijau apa yang ada difikiran anda ? pasti anda membayangkan sebuah lembah yang luas dengan selurhnya dipenuhi dengan rumput hijau membentang kan. Namun, jika pada kenyataannya berbeda bagaimana ? hehehe Karena pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin berbagi tempat referensi travel baru buat anda kunjungi yaitu di Karanganyar, tepatnya adalah sebelah timur kota Solo.
Agrowisata lembah hijau jaten karanganyar adalah tempat yang saya maksud, sebelum datang ke lembah hijau jaten, saya berfikir bahwa tempat yang akan saya kunjungi ini adalah sebuah lembah dengan pemandangan rumput hijau membentang, tapi ketia saya melihatnya benar-benar berbeda dari apa yang sudah saya pikirkan tadi. Ternyata ini adalah agrowisata yang terdapat berbagai macam fasilitas untuk dinikmati oleh para pengunjung yang datang.
 
Disini banyak sekali fasilitas dan kegiatan yang ditawarkan ke pengunjung misalnya saja ; kita bisa belajar menanam berbagai macam jenis pohon dan tanaman yang kita suka, kita bisa merawat tanaman dengan memberinya pupuk, bahkan kita juga bisa membuat langsung pupuk yang organik, selain itu juga ada peternakan dimana kita bisa belajar beternak dan yang paling asyik adalah kita bisa memeras susu sapi perah disini. Tentunya semua kegiatan tersebut tidak gratis dong ya,, harus berani merogoh kocek, banyak siswa dari sekolah-sekolah melakukan outing class disini.
Jika anda sudah mulai lelah dnegan semua kegiatan yang telah dilakuakan, mulai dari menanam tanaman, berkebun, membuat pupuk dan beternak anda bisa singgah di cafetaria yang sudah disediakan oleh pihak pengelola. Menarik bukan ? ini ceritaku mana ceritamu, buruan ikuti jejak travel kamu selanjutnya dan share pengalaman mu dari Kota Solo.

Contact Admin

Recent Post

    Area Soloraya

    VISIT SOLORAYA

    Seni Budaya Jawa

    Popular Posts

    Kalender

    Translate To



    EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianBrazilJapaneseKoreanArabicChinese Simplified



    Labels

    Boyolali (14) Karanganyar (25) Klaten (11) Sragen (17) Sukoharjo (11) Surakarta (13) Wonogiri (14)